Masa remaja diawali oleh datangnya pubertas, yaitu proses bertahap yang mengubah kondisi fisik dan psikologis seorang anak menjadi seorang dewasa. Pada saat ini terjadi peningkatan dorongan seks sebagai akibat perubahan hormonal. Selain itu, karakteristik seks primer dan sekunder menjadi matang sehingga memampukan seseorang untuk bereproduksi (Steinberg, 2002). Namun bukan hanya pubertas saja yang menjadikan seksualitas sebagai isu penting dalam hal perkembangan remaja.
Sebenarnya sebelum memasuki usia remaja, anak sudah memiliki keingintahuan akan seks. Mereka bahkan dapat terlibat dalam aktifitas seksual. Mereka dapat berciuman, masturbasi, bahkan melakukan sexual intercourse (Steinberg, 2002). Seperti yang diungkapkan Weis (2000), kemampuan untuk berinteraksi secara erotis dan untuk mengalami perasaan seksual, dengan sesama ataupun berbeda jenis kelamin, secara jelas ditunjukkan pada usia 5 sampai 6 tahun. Dalam observasi yang dilakukan Langfeldt (dalam Weis, 2000) menunjukkan anak laki-laki yang belum memasuki pubertas dan sedang melakukan permainan seksual dengan anak lain menunjukkan ereksi pada penisnya selama permainan seksual itu berlangsung. Bahkan Fond dan Beach (dalam Weis, 2000) menemukan bahwa anak-anak yang memiliki kesempatan mengamati kegiatan seksual yang dilakukan orang dewasa, cenderung terlibat dalam persetubuhan pada usia minimal 6-7 tahun.
Namun dalam permainan seksual itu, anak tidak melakukan introspeksi dan refleksi mengenai perilaku seksual (Steinberg, 2002). Mereka melakukannya karena tindakan itu memberikan sensasi nikmat sebagai reward dari tindakan mereka itu. Tindakan mereka lebih didasari oleh rasa ingin tahu daripada motivasi seksual yang sesungguhnya (Sullivan dalam Steinberg, 2002). Berbeda dengan remaja yang sudah mampu mengambil keputusan apakah ia akan terlibat dalam aktifitas seksual itu, dan mempertimbangkan apakah pasangan akan menolaknya, apakah dirinya terlihat baik di mata pasangannya, dan sebagainya.
0 komentar:
Posting Komentar