Masa remaja diawali oleh datangnya pubertas, yaitu proses bertahap yang mengubah kondisi fisik dan psikologis seorang anak menjadi seorang dewasa. Pada saat ini terjadi peningkatan dorongan seks sebagai akibat perubahan hormonal. Selain itu, karakteristik seks primer dan sekunder menjadi matang sehingga memampukan seseorang untuk bereproduksi (Steinberg, 2002). Namun bukan hanya pubertas saja yang menjadikan seksualitas sebagai isu penting dalam hal perkembangan remaja.
Dalam tahapan perkembangan psikososial yang yang dikemukan Erikson, dinyatakan bahwa tugas utama yang dihadapi remaja adalah membentuk identitas personal yang stabil, kesadaran yang meliputi perubahan dalam pengalaman dan peran yang mereka miliki, dan memungkinkan mereka untuk menjembatani masa kanak-kanak yang telah mereka lewati dan masa dewasa yang akan mereka masuki (Stevens-Long & Cobb, 1983). Pemahaman mengenai seksualitas seseorang merupakan bagian dari upaya pembentukan identitas personal yang stabil, karena dengan mengembangkan sikap yang sehat mengenai keberadaan diri sebagai makhluk seksual, seseorang juga memahami nilai-nilai, keyakinan, sikap, dan batasan-batasan yang dimilikinya; dan akan memampukannya untuk dapat merasa nyaman menjadi dirinya sendiri (Shibley, 1997).
Sebenarnya sebelum memasuki usia remaja, anak sudah memiliki keingintahuan akan seks. Mereka bahkan dapat terlibat dalam aktifitas seksual. Mereka dapat berciuman, masturbasi, bahkan melakukan sexual intercourse (Steinberg, 2002). Seperti yang diungkapkan Weis (2000), kemampuan untuk berinteraksi secara erotis dan untuk mengalami perasaan seksual, dengan sesama ataupun berbeda jenis kelamin, secara jelas ditunjukkan pada usia 5 sampai 6 tahun. Dalam observasi yang dilakukan Langfeldt (dalam Weis, 2000) menunjukkan anak laki-laki yang belum memasuki pubertas dan sedang melakukan permainan seksual dengan anak lain menunjukkan ereksi pada penisnya selama permainan seksual itu berlangsung. Bahkan Fond dan Beach (dalam Weis, 2000) menemukan bahwa anak-anak yang memiliki kesempatan mengamati kegiatan seksual yang dilakukan orang dewasa, cenderung terlibat dalam persetubuhan pada usia minimal 6-7 tahun.
Namun dalam permainan seksual itu, anak tidak melakukan introspeksi dan refleksi mengenai perilaku seksual (Steinberg, 2002). Mereka melakukannya karena tindakan itu memberikan sensasi nikmat sebagai reward dari tindakan mereka itu. Tindakan mereka lebih didasari oleh rasa ingin tahu daripada motivasi seksual yang sesungguhnya (Sullivan dalam Steinberg, 2002). Berbeda dengan remaja yang sudah mampu mengambil keputusan apakah ia akan terlibat dalam aktifitas seksual itu, dan mempertimbangkan apakah pasangan akan menolaknya, apakah dirinya terlihat baik di mata pasangannya, dan sebagainya.
Masa remaja menjadi sebuah titik balik dalam perkembangan seksualitas karena menandakan awal mula seseorang bertingkah laku seksual karena memiliki motivasi seksual yang disadari bermakna seksual secara eksplisit, oleh diri sendiri dan orang lain (Steinberg, 2002). Dengan demikian remaja harus memenuhi tugas perkembangan mereka, untuk memahami bagaimana menangani minat seksual mereka dan menjadikan seks sebagai bagian dari kehidupan personal dan sosial mereka (Steinberg, 2002).
Related Articles :
0 komentar:
Posting Komentar