Banyak pasangan tentu mendambakan kelanggengan hubungan mereka. Namun sering yang terjadi tidak seperti yang diharapkan.
Menyimak buku kenangan remaja-remaja SMP (mungkin juga SLTA) yang lulus sekolah, yang berisi biodata, cita-cita, dan kata-kata kenangan, dapat membuat kita tersenyum.
Pasalnya, di antara cita-cita yang tertulis mungkin saja berisi keinginan menjadi pasangan artis ternama (biasanya ditulis remaja perempuan).
Lepas dari kelucuan yang disengaja, bagi banyak orang, menemukan pasangan yang didambakan dan hidup dalam perkawinan merupakan sesuatu yang sangat berarti. Melalui perkawinan, hampir setiap orang berharap akan memperoleh kebahagiaan.
Namun, antara cita-cita dan kenyataan bisa berbeda. Perkawinan yang menjadi dambaan, setelah berlangsung sekian waktu, ternyata justru menjadi neraka.
Kita dapat menemukan banyak pasangan benar-benar bahagia dalam perkawinan yang panjang (abadi), tapi tak jarang menemukan perkawinan bubar di tengah jalan.
Perceraian, meskipun frekuensinya cukup tinggi, khususnya di kalangan selebriti, bagaimanapun merupakan pengalaman yang sangat menyedihkan bagi yang mengalaminya. Baron & Byrne (1994) dalam bukunya, Social Psychology, memaparkan temuan para peneliti mengenai akibat perceraian.
Fischman menemukan adanya penderitaan emosional yang dialami baik laki-laki maupun perempuan yang perkawinannya gagal. Mereka mengalami kesepian, depresi, dan perasaan marah yang relatif menetap.
Beberapa peneliti lain menemukan akibat yang lebih menyedihkan pada anak-anak dari pasangan yang gagal perkawinannya: mereka merespon dengan perasaan yang sangat negatif, memiliki self-esteem rendah (merasa tidak berharga), cemas, merasa tak berdaya, dan mengalami masalah dalam relasi sosial serta akademik.
Di sisi lain, dalam survei-survei mengenai kebahagiaan dalam beberapa dekade, hasilnya secara konsisten menunjukkan bahwa baik laki-laki maupun perempuan menikah lebih bahagia daripada yang tidak pernah menikah ataupun bercerai.
Gambaran semacam ini dapat menjadi cermin, betapa kita memerlukan informasi bagaimana mengelola hubungan dalam perkawinan agar sebuah perkawinan yang telah dirajut dapat berlangsung abadi.
Menyimak buku kenangan remaja-remaja SMP (mungkin juga SLTA) yang lulus sekolah, yang berisi biodata, cita-cita, dan kata-kata kenangan, dapat membuat kita tersenyum.
Pasalnya, di antara cita-cita yang tertulis mungkin saja berisi keinginan menjadi pasangan artis ternama (biasanya ditulis remaja perempuan).
Lepas dari kelucuan yang disengaja, bagi banyak orang, menemukan pasangan yang didambakan dan hidup dalam perkawinan merupakan sesuatu yang sangat berarti. Melalui perkawinan, hampir setiap orang berharap akan memperoleh kebahagiaan.
Namun, antara cita-cita dan kenyataan bisa berbeda. Perkawinan yang menjadi dambaan, setelah berlangsung sekian waktu, ternyata justru menjadi neraka.
Kita dapat menemukan banyak pasangan benar-benar bahagia dalam perkawinan yang panjang (abadi), tapi tak jarang menemukan perkawinan bubar di tengah jalan.
Perceraian, meskipun frekuensinya cukup tinggi, khususnya di kalangan selebriti, bagaimanapun merupakan pengalaman yang sangat menyedihkan bagi yang mengalaminya. Baron & Byrne (1994) dalam bukunya, Social Psychology, memaparkan temuan para peneliti mengenai akibat perceraian.
Fischman menemukan adanya penderitaan emosional yang dialami baik laki-laki maupun perempuan yang perkawinannya gagal. Mereka mengalami kesepian, depresi, dan perasaan marah yang relatif menetap.
Beberapa peneliti lain menemukan akibat yang lebih menyedihkan pada anak-anak dari pasangan yang gagal perkawinannya: mereka merespon dengan perasaan yang sangat negatif, memiliki self-esteem rendah (merasa tidak berharga), cemas, merasa tak berdaya, dan mengalami masalah dalam relasi sosial serta akademik.
Di sisi lain, dalam survei-survei mengenai kebahagiaan dalam beberapa dekade, hasilnya secara konsisten menunjukkan bahwa baik laki-laki maupun perempuan menikah lebih bahagia daripada yang tidak pernah menikah ataupun bercerai.
Gambaran semacam ini dapat menjadi cermin, betapa kita memerlukan informasi bagaimana mengelola hubungan dalam perkawinan agar sebuah perkawinan yang telah dirajut dapat berlangsung abadi.
oleh Dra. M.M. Nilam Widyarini, M.Si, dosen psikologi di Universitas Guna Dharma, Jakarta
0 komentar:
Posting Komentar