BThemes

Sabtu, 19 Maret 2011

PENDEWASAAN USIA PERKAWINAN (PUP)

Posted On 00.47 by PIK-REMAJA TUNAS BANGSA 0 komentar


Permasalahan kependudukan pada dasarnya terkait dengan kuantitas, kualitas dan mobilitas penduduk. Undang-Undang No. 10 Tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera telah mengamanatkan perlunya pengendalian kuantitas, peningkatan kualitas dan pengarahan mobilitas penduduk agar mampu menjadi sumber daya yang tangguh bagi pembangunan dan ketahanan nasional.

Salah satu program pembangunan yang berkaitan dengan kependudukan adalah Program Keluarga berencana yang bertujuan mengendalikan jumlah penduduk diantaranya melalui program Pendewasaan Usia Perkawinan (PUP). Pendewasaan Usia Perkawinan bertujuan untuk memberikan pengertian dan kesadaran kepada remaja agar didalam merencanakan keluarga, mereka dapat mempertimbangkan berbagai aspek berkaitan dengan kehidupan berkeluarga, kesiapan fisik, mental dan social-ekonomi serta menentukan jumlah dan jarak kelahiran.

Pendewasaan Usia Perkawinan (PUP) adalah upaya untuk meningkatkan usia pada perkawinan pertama, sehingga mencapai usia minimal pada saat perkawinan yaitu 20 tahun bagi wanita dan 25 tahun bagi pria. PUP bukan sekedar menunda sampai usia tertentu saja tetapi mengusahakan agar kehamilan pertamapun terjadi pada usia yang cukup dewasa. Bahkan harus diusahakan apabila seseorang gagal mendewasakan usia perkawinannya, maka penundaan kelahiran anak pertama harus dilakukan. Dalam istilah KIE disebut sebagai anjuran untuk mengubah bulan madu menjadi tahun madu.

Pendewasaan usia perkawinan merupakan bagian dari program Keluarga Berencana Nasional. Program PUP memberikan dampak pada peningkatan umur kawin pertama yang pada gilirannya akan menurunkan Total Fertility Rate (TFR).

Tujuan program pendewasaan usia perkawinan adalah :

Memberikan pengertian dan kesadaran kepada remaja agar didalam merencanakan keluarga, mereka dapat mempertimbangkan berbagai aspek berkaitan dengan kehidupan berkeluarga, kesiapan fisik, mental, emosional, pendidikan, sosial, ekonomi serta menentukan jumlah dan jarak kelahiran. Tujuan PUP seperti ini berimplikasi pada perlunya peningkatan usia kawin yang lebih dewasa.

Program Pendewasaan Usia kawin dan Perencanaan Keluarga merupakan kerangka dari program pendewasaan usia perkawinan. Kerangka ini terdiri dari tiga masa reproduksi, yaitu : 1) Masa menunda perkawinan dan kehamilan, 2) Masa menjarangkan kehamilan dan 3) Masa mencegah kehamilan.

Kerangka ini dapat dilihat seperti bagan dibawah ini.



1.  Masa Menunda Perkawinan dan Kehamilan
    Kelahiran anak yang baik, adalah apabila dilahirkan oleh seorang ibu yang telah berusia 20 tahun. Kelahiran anak, oleh seorang ibu dibawah usia 20 tahun akan dapat mempengaruhi kesehatan ibu dan anak yang bersangkutan. Oleh sebab itu sangat dianjurkan apabila seorang perempuan belum berusia 20 tahun untuk menunda perkawinannya. Apabila sudah terlanjur menjadi pasangan suami istri yang masih dibawah usia 20 tahun, maka dianjurkan untuk menunda kehamilan, dengan menggunakan alat kontrasepsi seperti yang akan diuraikan dibawah ini. 
    Beberapa alasan medis secara objektif dari perlunya penundaan usia kawin pertama dan kehamilan pertama bagi istri yang belum berumur 20 tahun adalah sebagai berikut:
  • Kondisi rahim dan panggul belum berkembang optimal sehingga dapat mengakibatkan risiko kesakitan dan kematian pada saat persalinan, nifas serta bayinya.
  • Kemungkinan timbulnya risiko medik sebagai berikut:
      • Keguguran • Preeklamsia (tekanan darah tinggi, cedema, proteinuria) • Eklamsia (keracunan kehamilan) • Timbulnya kesulitan persalinan • Bayi lahir sebelum waktunya • Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR) • Fistula Vesikovaginal (merembesnya air seni ke vagina) • Fistula Retrovaginal ( keluarnya gas dan feses/tinja ke vagina) • Kanker leher rahim
     
    Penundaan kehamilan pada usia dibawah 20 tahun ini dianjurkan dengan menggunakan alat kontrasepsi sebagai berikut:
  • Prioritas kontrasepsi adalah oral pil, oleh karena peserta masih muda dan sehat
  • Kondom kurang menguntungkan, karena pasangan sering bersenggama (frekuensi tinggi) sehingga akan mempunyai kegagalan tinggi.
  • AKDR/Spiral/IUD bagi yang belum mempunyai anak merupakan pilihan kedua. AKDR/Spiral/IUD yang
  • digunakan harus dengan ukuran terkecil.

2.  Masa Menjarangkan kehamilan
    Masa menjarangkan kehamilan terjadi pada periode PUS berada pada umur 20-35 tahun. Secara empirik diketahui bahwa PUS sebaiknya melahirkan pada periode umur 20-35 tahun, sehingga resiko-resiko medik yang diuraikan diatas tidak terjadi. Dalam periode 15 tahun (usia 20-35 tahun) dianjurkan untuk memiliki 2 anak. Sehingga jarak ideal antara dua kelahiran bagi PUS kelompok ini adalah sekitar 7-8 tahun. Patokannya adalah jangan terjadi dua balita dalam periode 5 tahun. Untuk menjarangkan kehamilan dianjurkan menggunakan alat kontrasepsi. 
    Pemakaian alat kontrasepsi pada tahap ini dilaksanakan untuk menjarangkan kelahiran agar ibu dapat menyusui anaknya dengan cukup banyak dan lama. Semua kontrasepsi, yang dikenal sampai sekarang dalam program Keluarga Berencana Nasional, pada dasarnya cocok untuk menjarangkan kelahiran. Akan tetapi dianjurkan setelah kelahiran anak pertama langsung menggunakan alat kontrasepsi spiral (IUD). 
3.  Masa Mencegah Kehamilan
    Masa pencegahan kehamilan berada pada periode PUS berumur 35 tahun keatas. Sebab secara empirik diketahui melahirkan anak diatas usia 35 tahun banyak mengalami resiko medik. Pencegahan kehamilan adalah proses yang dilakukan dengan menggunakan alat kontrasepsi. Kontrasepsi yang akan dipakai diharapkan berlangsung sampai umur reproduksi dari PUS yang bersangkutan yaitu sekitar 20 tahun dimana PUS sudah berumur 50 tahun. 
    Alat kontrasepsi yang dianjurkan bagi PUS usia diatas 35 tahun adalah sebagai berikut:
  • Pilihan utama penggunaan kontrasepsi pada masa ini adalah kontrasepsi mantap (MOW, MOP).
  • Pilihan ke dua kontrasepsi adalah IUD/AKDR/Spiral
  • Pil kurang dianjurkan karena pada usia ibu yang relatif tua mempunyai kemungkinan timbulnya akibat sampingan.

Sumber : Ceria BKKBN


Hubungan Sikap terhadap Penundaan Usia Perkawinan dengan Intensi Penundaan Usia Perkawinan

Posted On 00.46 by PIK-REMAJA TUNAS BANGSA 0 komentar

A. Pendahuluan

Masa dewasa awal adalah salah satu tahapan perkembangan manusia yang memiliki masa terpanjang sepanjang rentang kehidupan seseorang. Pada masa dewasa awal individu dianggap telah siap menghadapi suatu perkawinan, seperti yang dikemukakan oleh Havigurst bahwa lima dari tugas perkembangan dewasa awal merupakan kegiatan-kegiatan pokok yang bersangkutan dengan kehidupan berkeluarga (Papalia and Olds, 1986).



Perkawinan bukanlah hal yang mudah, di dalamnya terdapat banyak konsekuensi yang harus dihadapi sebagai suatu bentuk tahap kehidupan baru individu dewasa dan pergantian status dari lajang menjadi seorang istri yang menuntut adanya penyesuaian diri terus-menerus sepanjang perkawinan (Hurlock, 1993). Individu yang memiliki kesiapan untuk menjalani kehidupan perkawinan akan lebih mudah menerima dan menghadapi segala konsekuensi persoalan yang timbul dalam perkawinan (Landis and Landis, 1963). Sebaliknya, individu yang tidak memiliki kesiapan menuju kehidupan perkawinan belum dapat disebut layak untuk melakukan perkawinan, sehingga mereka dianjurkan untuk melakukan penundaan atau pendewasaan usia perkawinan.

Di Indonesia penundaan usia perkawinan banyak dijumpai di kota-kota besar terutama mereka yang berkonsentrasi pada kemajuan prestasi dalam karir dan pendidikan. Dalam laporan penelitian Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (BPS, 1986) dikemukakan bahwa partisipasi dalam karir pekerjaan sebelum perkawinan dapat menunda usia perkawinan. Pendidikan dikatakan sebagai alternatif lain (terutama bagi gadis) dari melangsungkan perkawinan, sehingga sering digunakan alasan seseorang belum menikah karena “masih sekolah”, walaupun usianya sudah mencapai bahkan melampaui rata-rata usia perkawinan yang berlaku di masyarakat.

Penundaan usia perkawinan sampai pada usia dewasa dianggap banyak memberikan keuntungan bagi seorang individu. Perkawinan di usia dewasa akan menjamin kesehatan reproduksi ideal bagi wanita sehingga kematian ibu melahirkan dapat dihindari. Perkawinan di usia dewasa juga akan memberikan keuntungan dalam hal kesiapan psikologis dan sosial ekonomi. Hampir semua studi yang dilakukan berkaitan dengan hubungan antara usia perkawinan dengan kebahagiaan perkawinan menunjukkan bahwa peluang kebahagiaan dalam perkawinan lebih rendah tercapai jika pria menikah sebelum usia 20 tahun dan wanitanya menikah sebelum usia 18 tahun (Landis, 1963). Dikatakan pula bahwa meskipun usia tidak dapat dijadikan sebagai satu-satunya faktor yang bertanggung jawab dalam proporsi kegagalan perkawinan, akan tetapi terdapat indikasi bahwa perkawinan belia cacat sejak permulaan karena biasanya pasangan memasukinya dengan terburu-buru, setelah perkenalan yang singkat, dan seringkali tanpa pertimbangan matang mengenai realitas yang akan mereka hadapi setelah menikah. Oleh karena itu penundaan usia perkawinan banyak dianjurkan pada mereka yang belum memiliki kesiapan menuju kehidupan perkawinan.

Terlebih lagi laporan dari Badan Survei Kesuburan Dunia dan Survei Demografi Kesehatan Dunia menyebutkan bahwa rata-rata usia perkawinan pertama wanita Indonesia masih termasuk dalam kategori usia kawin yang rendah yang sangat berpengaruh pada tingkat fertilitas (Malhotra, 1997). Wanita yang menikah pada usia yang relatif muda (kurang dari 15 tahun) akan memiliki anak yang lebih banyak dari mereka yang menikah pada usia yang lebih dewasa (Adiotomo, 1983). Bagi Negara Indonesia yang menempati urutan ke 5 penduduk terpadat di dunia, tentu saja penundaan usia perkawinan menjadi masalah mendesak yang perlu mendapatkan perhatian besar dari pemerintah untuk menghindari angka kelahiran yang tidak terkendali.

Berdasarkan permasalahan tersebut peneliti tertarik untuk mengkaji faktor-faktor yang dianggap berpengaruh terhadap terjadinya penundaan usia perkawinan dengan menggunakan teori tindakan beralasan ( Theory of Reason Action) yang dikembangkan oleh Ajzen dan Fisbhein. Peneliti tertarik menggunakan teori tindakan beralasan dalam penelitian ini, karena teori ini merupakan satu kerangka model yang dapat digunakan dalam menganalisis atau memprediksi perilaku manusia yang kompleks.

Bertitik tolak dari latar belakang permasalahan di atas, maka permasalahan yang akan diteliti dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :
  1. Adakah hubungan antara sikap terhadap penundaan usia perkawinan dengan intensi penundaan usia perkawinan
  2. Adakah hubungan antara norma subyektif dengan intensi penundaan usia perkawinan.

B. Kajian teori

Penelitian ini mengaplikasikan model tindakan beralasan yang dikemukakan oleh Fishbein dan Ajzen dalam memahami intensi penundaan usia perkawinan (Ajzen, 1988). Berdasarkan model teori tindakan beralasan dijelaskan bahwa untuk melakukan penundaan usia perkawinan, ditentukan oleh adanya intensi individu untuk melakukan penundaan usia perkawinan atau tidak.

Ada dua komponen yang menjadi antaseden atau penentu intensi penundaan usia perkawinan. Kedua komponen tersebut adalah sikap individu terhadap penundaan usia perkawinan, dan norma subyektif yang diyakini oleh individu.

Sikap terhadap penundaan usia perkawinan terbentuk oleh keyakinan akan penundaan usia perkawinan, yang memuat dua aspek pokok, yaitu: (1) keyakinan akan hasil atau manfaat yang diperoleh dari penundaan usia perkawinan, dan (2) evaluasi terhadap masing-masing hasil yang diperoleh dari penundaan usia perkawinan. Keyakinan akan hasil atau manfaat dari penundaan usia perkawinan meliputi empat aspek yaitu; aspek kesiapan biologis, kesiapan psikologis, kesiapan sosial dan kesiapan ekonomi (Landis, 1963). Evaluasi terhadap hasil perilaku adalah merupakan penilaian dari individu terhadap aspek kesiapan biologis, kesiapan psikologis, kesiapan sosial dan kesiapan ekonomi sebagai hasil atan manfaat yang dapat diperoleh apabila individu melakukan penundaan usia perkawinan. Evaluasi atau penilaian bersifat menguntungkan atau tidak menguntungkan, menyenangkan atau tidak menyenangkan, berharga atau merugikan, baik atau tidak baik. Semakin positif sikap individu terhadap penundaan usia perkawinan, maka semakin kuat intensi individu tersebut untuk melakukan penundaan usia perkawinan, sebaliknya semakin negatif sikap individu terhadap penundaan usia perkawinan, maka semakin lemah intensi individu untuk melakukan penundaan usia perkawinan.

Norma subyektif terbentuk dari keyakinan normatif yang terdiri dari dua aspek pokok, yaitu: (1) keyakinan akan harapan normatif referen terhadap penundaan usia perkawinan, dan (2) motivasi untuk mematuhi setiap harapan normatif referen tersebut. Keyakinan akan harapan normatif referen mengacu pada seberapa besar harapan-harapan yang dipersepsi oleh individu yang berkaitan dengan penundaan usia perkawinan, yang berasal dari orang-orang yang dianggap berpengaruh dan mempengaruhi individu (referen significant others) untuk melakukan penundaan usia perkawinan. Referen dalam hal ini adalah orang tua, saudara, teman, tetangga, tokoh agama dan tokoh masyarakat. Motivasi untuk patuh mengacu pada seberapa besar motivasi dari individu untuk mematuhi harapan-harapan dari orang-orang yang dianggap penting tersebut. Semakin positif atau mendukung norma subyektif yang diyakini oleh individu terhadap penundaan usia perkawinan, maka semakin kuat intensi individu untuk melakukan penundaan usia perkawinan, sebaliknya semakin negatif norma subyektif yang diyakini oleh individu terhadap penundaan usia perkawinan, maka akan semakin lemah intensi individu untuk melakukan penundaan usia perkawinan.

Berdasarkan teori yang dikemukakan di atas, maka hipotesis penelitian ini dirumuskan sebagai berikut :
  1. Ada hubungan positif antara sikap pada penundaan usia perkawinan dengan intensi penundaan usia perkawinan.
  2. Ada hubungan positif antara norma subyektif dengan intensi penundaan usia perkawinan.
C. Metode Penelitian

Subyek penelitian adalah individu yang berada dalam tahap masa perkembangan dewasa awal, usia 22-25 tahun, status mahasiswi, belum menikah dan belum bekerja. Pemenuhan kriteria tersebut merupakan usaha untuk mengendalikan pengaruh variabel usia, tingkat sosial, dan tingkat pendidikan terhadap variabel tergantung penelitian ini. Pengambilan subyek penelitian menggunakan teknik purposive sampling. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan analisis korelasi product-moment Pearson, analisis korelasi parsial dan analisis regresi.

D. Hasil dan Pembahasan

Hasil uji deskriptif menunjukkan sebagian besar subyek penelitian memiliki sikap terhadap penundaan usia perkawinan dalam kategori tinggi yakni sebesar 77,5%, norma subyektif 50,5% untuk kategori tinggi dan 22% untuk kategori sangat tinggi, intensi penundaan usia perkawinan sebesar 48,5%, untuk kategori tinggi dan 24,5% untuk kategori sangat tinggi. Uji hipotesis pertama dengan analisis product-moment menunjukkan nilai r= 0,666; p= 0,000. Hal ini berarti ada hubungan positif dan sangat signifikan antara sikap pada penundaan usia perkawinan dengan intensi penundaan usia perkawinan. Hasil analisis korelasi parsial menunjukkan nilai r sebesar 0,4904 dengan p= 0,000. Hal ini berarti ada hubungan positif dan sangat signifikan antara sikap pada penundaan usia perkawinan, apabila norma subyektif dikendalikan.

Uji hipotesis kedua dengan analisis product-moment menunjukkan hasil r= 0,685; p= 0,000. Hal ini berarti ada hubungan positif dan sangat signifikan antara norma subyektif dengan intensi penundaan usia perkawinan. Analisis korelasi parsial menunjukkan nilai r sebesar 0,5260; p= 0,000. Hal ini berarti ada hubungan positif dan sangat signifikan antara norma subyektif dengan intensi penundaan usia perkawinan, apabila sikap pada penundaan usia perkawinan dikendalikan. Hasil uji analisis regresi didapatkan nilai R Square sebesar 0,597.

Dari hasil analisis di atas dapat disimpulkan bahwa, dengan menggunakan analisis korelasi product moment dan korelasi parsial ternyata didapatkan hubungan yang positif dan sangat signifikan antara sikap terhadap penundaan usia perkawinan dengan intensi penundaan usia. Sumbangan efektif sikap terhadap penundaan usia perkawinan terhadap intensi penundaan usia perkawinan sebesar 12,8%, berarti sekitar 87,2% dipengaruhi oleh faktor lain. Hal ini berarti hipotesis pertama yang diajukan dalam penelitian ini, yakni: “ada hubungan positif antara sikap terhadap penundaan usia perkawinan dengan intensi penundaan usia perkawinan”, dapat diterima.

Dari analisis korelasi product moment dan korelasi parsial juga didapatkan adanya hubungan yang positif dan sangat signifikan antara norma subyektif dan intensi penundaan usia perkawinan, sumbangan efektif norma subyektif sebesar 47%, berarti sekitar 53% dipengaruhi oleh faktor lain. Hal ini berarti hipotesis kedua yang berbunyi “ada hubungan positif antara norma subyektif dan intensi penundaan usia perkawinan”, dapat diterima.

Sebagian besar subyek penelitian memiliki sikap yang positif terhadap penundaan usia perkawinan (77,5%). Hal ini berarti mereka memiliki keyakinan yang tinggi bahwa penundaan usia perkawinan akan memberikan keuntungan bagi mereka, baik keuntungan dari segi biologis, psikologis, sosial dan ekonomi. Penundaan perkawinan akan memberikan waktu lebih banyak bagi mereka untuk membentuk identitas pribadi sebagai individu yang matang secara biologis, psikologis, sosial dan ekonomi.

Hal ini sesuai dengan pendapat Landis (1963) yang mengatakan bahwa penundaan atau pendewasaan usia perkawinan akan mempengaruhi kesiapan individu terutama kesiapan psikologis, sosial dan ekonomi, dalam memasuki kehidupan perkawinan yang berarti juga akan meningkatkan stabilitas perkawinan sehingga kegagalan perkawinan dapat dihindari (Landis, 1963). Semua bentuk kesiapan ini mendukung individu untuk dapat menjalankan peran baru dalam keluarga yang akan dibentuknya agar perkawinan yang dijalani selaras, stabil dan individu dapat merasakan kepuasan dalam perkawinannya kelak.

Kesiapan biologis menjadi salah satu pertimbangan penting subyek penelitian dalam menunda perkawinan. Kesiapan biologis mengacu kepada kematangan seksual yang dimilki individu sehingga mampu mendapatkan keturunan dan siap menerima konsekuensi sebagai orang tua (hamil, melahirkan, menyusui dan mengasuh anak).

Kesiapan psikologis menjadi alasan kedua subyek penelitian untuk menunda perkawinan. Kesiapan psikologis diartikan sebagai kesiapan individu dalam menjalankan peran sebagai suami atau istri, meliputi pengetahuan akan tugasnya masing-masing dalam rumah tangga, dan tidak memilki kecemasan yang berlebihan terhadap perkawinan, akan tetapi menganggap perkawinan sebagai sesuatu yang wajar untuk dijalani. Hal ini sesuai dengan pendapat Landis bahwa individu yang siap secara psikologis untuk menikah akan bersikap flexibel dan adaptif dalam menjalin hubungan dengan orang lain, memandang pernikahan sebagai sebuah fase dalam kehidupan yang akan dapat mendatangkan berbagai persoalan baru yang tentunya memerlukan tanggung jawab lebih besar (Landis, 1963).

Perkawinan bukan hanya hubungan antara dua pribadi, akan tetapi juga merupakan suatu lembaga sosial yang diatur oleh masyarakat yang beradab untuk menjaga dan memberi perlindungan bagi anak-anak yang akan dilahirkan dalam masyarakat tersebut, serta untuk menjamin stabilitas dan kelangsungan kelompok masyarakat itu sendiri. Banyaknya peraturan-peraturan dan larangan-larangan sosial bagi sebuah perkawinan membuktikan adanya perhatian yang besar dari masyarakat untuk sebuah perkawinan yang akan terjadi. Keuntungan dari perkawinan yang dilakukan oleh individu yang siap secara psikologis adalah mereka akan menyadari implikasi dari sebuah perkawinan dan menyadari arti dari perkawinan bagi kehidupannya. Oleh karena itu kesiapan psikologis sangat diperlukan dalam memasuki kehidupan perkawinan agar individu siap dan mampu menghadapi berbagai masalah yang timbul dengan cara yang bijak, tidak mudah bimbang dan putus asa.

Kesiapan secara sosial juga merupakan pertimbangan penting bagi penetapan waktu perkawinan. Subyek penelitian berkeyakinan bahwa menunda perkawinan akan memberi manfaat dalam meningkatkan kesiapan individu dalam menjalankan status baru dalam masyarakat sebagai suami atau istri dengan segala konsekuensinya, serta bersedia untuk bersosialisasi dengan masyarakat dan budaya yang berlainan.

Kartono (1987) mengatakan kesiapan secara sosial diperlukan karena akan membawa seseorang dari masa yang kekanak-kanakan penuh egosentrisme kepada akseptuasi sepenuhnya dari pertanggungjawaban sebagai manusia dewasa ditengah masyarakat, sehingga mampu melakukan adaptasi sosial, dan mampu mengintegrasikan diri di tengah masyarakat. Lebih lanjut dikatakan bahwa integrasi sosial perlu dipelajari oleh setiap individu, karena sangat esensial bagi setiap bentuk hubungan dan interrelasi diri di tengah masyarakat, khususnya untuk interrelasi yang sangat intim dalam bentuk perkawinan.

Selain kesiapan secara sosial, kesiapan ekonomi juga dianggap merupakan manfaat yang akan diperoleh subyek penelitian dari menunda perkawinan. Kesiapan ekonomi berarti individu mampu untuk mandiri, memiliki mata pencaharian yang mantap sehingga mampu memenuhi segala kebutuhan rumah tangga, dan tidak lagi bergantung pada orang tua. Kesiapan ekonomi juga berarti adanya kemampuan merencanakan dan mengelola keuangan dengan baik.

Individu yang menikah pada usia muda akan cenderung bergantung pada orangtua secara finansial maupun emosional. Perkawinan yang dilaksanakan pada usia dewasa akan membuat orangtua yakin bahwa anak-anak mereka cukup mampu bertanggung jawab pada perkawinannnya dan tidak akan terlalu ikut campur pada permasalahan yang mungkin saja terjadi dalam kehidupan perkawinan mereka. Hal ini juga dapat mengurangi friksi yang mungkin terjadi dengan keluarga pasangan (Laswell, 1987).

Norma subyektif yang diyakini oleh sebagian besar subyek penelitian berada dalam kategori tinggi (50,5%) dan sangat tinggi (22%). Hal ini berarti subyek penelitian memiliki keyakinan bahwa orang-orang penting dalam kehidupan mereka (significant others) menyarankan untuk menunda usia perkawinan, dan subyek penelitian memiliki motivasi yang besar untuk mematuhinya.

Perkawinan pada masyarakat Indonesia tidak hanya berhubungan atau melibatkan pasangan yang akan melakukan perkawinan, akan tetapi sekaligus juga merupakan perkawinan “dua keluarga”. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Malhotra (1997) yang menunjukkan bahwa keterlibatan orangtua dalam keputusan penetapan waktu perkawinan anak-anaknya tetap berlangsung, meskipun mereka bebas memilih pasangannya sendiri seperti yang terjadi di Indonesia, Srilangka, China ,Taiwan dan Jepang. Dukungan significant others yang tinggi pada penundaan usia perkawinan disebabkan karena mereka menyadari bahwa persiapan yang lebih matang terutama dari segi kesiapan psikologis, sosial dan ekonomi diperlukan untuk menjamin kelangsungan masa depan sebuah perkawinan. Sarwono (1997) mengatakan bahwa penundaan usia perkawinan dapat disebabkan karena norma sosial semakin lama menuntut persyaratan yang semakin tinggi untuk dilangsungkannya sebuah perkawinan, yakni pendidikan, pekerjaan, kesiapan mental dan lain-lain (Sarwono, 1997).

Secara teoritis norma sosial terhadap perkawinan merupakan perwujudan sikap anggota masyarakat terhadap sesuatu yang berkaitan dengan masalah perkawinan. Otani (1991) mengelompokkan tiga jenis sikap masyarakat terhadap perkawinan sebagai berikut:

  1. Sikap masyarakat yang menganggap bahwa perkawinan merupakan suatu masa yang mutlak harus dilakukan dan sedapat mungkin dilakukan sebelum mencapai umur tertentu. Masyarakat yang memiliki sikap demikian, pada umumnya menerima perkawinan yang diatur oleh orangtua.
  2. Sikap masyarakat yang mengaggap bahwa perkawinan merupakan suatu hal yang penting dan jika diperbolehkan akan dilakukan sebelum mencapai umur tertentu. Golongan masyarakat ini cenderung menunda perkawinan sampai dirasa mantap untuk memasuki kehidupan perkawinan.
  3. Sikap masyarakat yang menganggap bahwa pekerjaan lebih penting daripada perkawinan. Masyarakat pada golongan ini cenderung untuk melakukan perkawinan terlambat, bahkan sebagian besar memilih untuk tidak melakukan perkawinan (Ontani, 1991: 475-487).
Berdasarkan penggolongan sikap masyarakat di atas terlihat bahwa referen atau orang-orang yang dianggap penting oleh subyek penelitian termasuk dalam golongan kedua. Hal ini sesuai dengan pendapat Otani yang mengatakan bahwa, masyarakat Indonesia yang tinggal di perkotaan dan dengan status sosial menengah keatas termasuk dalam golongan kedua.

Mereka memiliki keyakinan bahwa perkawinan merupakan sebuah fenomena yang universal, artinya secara cepat atau lambat seseorang akan melangsungkan perkawinan, hanya saja penetapan waktu perkawinan menuntut persyaratan yang semakin tinggi, terutama kesiapan psikologis dan sosial ekonomi. Sebagian besar subyek penelitian memiliki intensi penundaan usia perkawinan dalam kategori tinggi (48,%5) dan sangat tinggi (24,5%) disebabkan oleh beberapa hal antara lain:

  1. Seluruh subyek penelitian masih berstatus mahasiswa sehingga masalah perkawinan belum menjadi masalah yang mendesak untuk dipikirkan. Prioritas utama subyek penelitian adalah menyelesaikan kuliah dan meraih prestasi sebaik-baiknya. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Manning dan Singarimbun (2000) yang menunjukkan bahwa pendidikan memang memberi andil yang cukup besar terhadap penundaan usia perkawinan. Semakin tinggi pendidikan yang diraih seorang individu, maka semakin tinggi pula usia kawin individu tersebut. Individu yang memiliki pendidikan tinggi akan mengalokasikan waktu yang lebih panjang untuk mengenyam pendidikan.
  2. Seluruh subyek penelitian belum bekerja, sehingga mereka belum memiliki kemandirian secara ekonomis untuk menuju kehidupan perkawinan. Perkawinan mensyaratkan adanya kemandirian secara ekonomis dari pasangan, sehingga ketergantungan secara ekonomis pada orang lain merupakan sesuatu hal yang tabu dan sedapat mungkin harus dihindari.
  3. Usia subyek penelitian juga merupakan faktor yang menyebabkan tingginya intensi untuk melakukan penundaan usia perkawinan. Usia yang muda saat memasuki perkawinan biasanya berkaitan dengan ketidaksiapan secara sosial, psikologis, dan ekonomis. Lebih muda usia kawin berarti besar peluang untuk tidak stabilnya sebuah perkawinan, sehingga penundaan atau pendewasaan usia perkawinan merupakan sebuah hal yang wajar dan biasa untuk dilakukan. Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa sikap terhadap penundaan usia perkawinan, norma subyektif dan intensi penundaan usia perkawinan subyek penelitian berada dalam kategori tinggi. Pada model perilaku beralasan dijelaskan, jika sikap terhadap perilaku dan norma subyektif tinggi, maka intensi untuk menampilkan perilaku juga akan tinggi. Hal ini terbukti dengan dihasilkannya hubungan yang positif dan sangat signifikan antara sikap terhadap penundaan usia perkawinan dengan intensi penundaan usia perkawinan. Hasil penelitian ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Becker (Openheirmen, 1988) yang mengatakan bahwa penundaan perkawinan akan terjadi pada pria dan wanita, jika terdapat utility yang lebih besar yang akan diperoleh pria dan wanita tersebut daripada jika mereka tidak melakukan penundaan perkawinan. Hubungan yang positif dan sangat signifikan antara sikap terhadap penundaan usia perkawinan dengan intensi penundaan usia perkawinan, menandakan subyek penelitian meyakini bahwa mereka akan mendapatkan utility yang lebih besar jika melakukan penundaan usia perkawinan.

Hubungan yang positif dan sangat signifikan juga diperoleh antara norma subyektif dengan intensi penundaan usia perkawinan, yang menujukkan koefesien korelasi sebesar 0,685. Hal ini berarti norma subyektif yang diyakini oleh subyek penelitian berpengaruh secara positif terhadap intensi penundaan usia perkawinan subyek penelitian. Seperti telah dijelaskan pada dasar teori, bahwa pembagian fase kehidupan seorang individu kebanyakan mempunyai sifat normatif (Monk, 1999). Walaupun tidak selalu mutlak demikian, namun masih sering dipakai sebagai standar tingkah laku bagi individu. Hal ini sesuai dengan kecenderungan masyarakat untuk selalu berusaha memperoleh standar tingkah laku. Tingginya dukungan normatif untuk melakukan penundaan usia perkawinan yang diyakini oleh subyek penelitian, menyebabkan intensi untuk melakukan penundaan usia perkawinan menjadi tinggi. Dalam masyarakat maju, usia memang tidak selalu menjadi standar tingkah laku, terutama pada masa sesudah remaja, namun fenomena “social o’clock” belum sepenuhnya hilang. Masyarakat masih menaruh pengharapan tertentu mengenai tingkah laku yang sesuai untuk usia-usia tertentu. Pengharapan masyarakat ini kemudian diinternalisasikan oleh individu, dan mempengaruhi keputusannya dalam berperilaku tertentu.

Dalam penelitian ini norma subyektif memiliki korelasi yang lebih besar dari pada sikap terhadap penundaan usia perkawinan. Hal ini disebabkan karena penundaan usia perkawinan merupakan perilaku yang secara langsung ataupun tidak, berhubungan dengan pihak-pihak lain terutama pihak yang dianggap penting oleh subyek penelitian. Alasan ini sesuai dengan gagasan yang dikemukakan oleh Merseliust (2002), yang mengaplikasikan model perilaku terencana dalam memahami intensi pengemudi untuk mematuhi aturan-aturan mengemudi. Parker (2002) mengatakan bahwa ketika seseorang membentuk intensi berperilaku tertentu yang membawa akibat-akibat atau berhubungan dengan pihak lain, maka variabel norma subyektif yang memuat keyakinan akan pandangan pihak yang dianggap penting (significant others) dan motivasi untuk memenuhi harapan referen, akan berpengaruh lebih besar daripada variabel sikap yang memuat keyakinan akan hasil perilaku dan evaluasi terhadap hasil perilaku. Sebaliknya, ketika individu membentuk intensi berperilaku yang bersifat pribadi dan tidak berhubungan dengan pihak lain, maka intensi berperilaku tersebut akan lebih banyak dipengaruhi oleh variabel sikap dari pada variabel norma subyektif.

E. Penutup

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dikemukakan di atas, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
  1. Ada korelasi positif dan sangat signifikan antara sikap terhadap penundaan usia perkawinan dengan intensi penundaan usia perkawinan. Hal ini berarti bahwa semakin positif sikap subyek penelitian terhadap penundaan usia perkawinan, maka akan semakin kuat intensi penundaan usia perkawinan subyek penelitian. Sebaliknya, semakin rendah sikap subyek penelitian terhadap penundaan usia perkawinan, maka semakin lemah intensi penundaan usia perkawinan subyek penelitian. Sumbangan efektif sikap terhadap penundaan usia perkawinan sebesar 12,8% terhadap intensi penundaan usia perkawinan. Hal ini berarti sikap terhadap penundaan usia perkawinan memiliki mempunyai peran yang cukup besar terhadap penundaan usia perkawinan.
  2. Ada korelasi positif dan sangat signifikan antara norma subyektif dengan intensi penundaan usia perkawinan. Hal ini berarti semakin positif norma subyektif, maka semakin kuat intensi penundaan usia perkawinan subyek penelitian. Sebaliknya, semakin negatif norma subyektif, maka semakin lemah pula intensi penundaan usia perkawinan subyek penelitian. Sumbangan efektif norma subyektif sebesar 47% terhadap intensi penundaan usia perkawinan. Hal ini berarti norma subyektif berperan besar terhadap peningkatan intensi penundaan usia perkawinan.

Berdasarkan kesimpulan yang dikemukakan di atas, beberapa saran yang dapat dikemukakan adalah sebagai berikut:
  1. Mengingat besarnya peran dari norma subyektif terhadap intensi penundaan usia perkawinan, maka bagi instansi yang memiliki program pendewasaan usia perkawinan hendaknya memberikan perhatian utama terhadap opini dari referen subyek yang dijadikan target program pendewasaan usia perkawinan.
  2. Sosialisasi pendewasaan usia perkawinan pada subyek yang menjadi target program pendewasaan usia perkawinan, hendaknya difokuskan pada pengubahan sikap yang lebih favorable terhadap penundaan usia perkawinan.
  3. Bagi peneliti selanjutnya yang tertarik meneliti penundaan usia perkawinan, hendaknya mempertimbangkan faktor lain dari pemilihan subyek, misalnya; jenis kelamin (pria dan wanita), tempat tinggal (desa dan kota) dan status (menikah dan belum menikah) untuk memperoleh informasi yang lebih mendalam tentang penundaan usia perkawinan.

Sumber : Averroes Community


PENDEWASAAN USIA PERKAWINAN (PUP) DALAM PANDANGAN HUKUM

Posted On 00.45 by PIK-REMAJA TUNAS BANGSA 0 komentar

Upaya pendewasaan usia perkawinan merupakan usaha agar seseorang menikah pada usia yang cukup dewasa sehingga sudah mampu bertangung jawab terahadap rumah tanggganya.
ada sebuah pertanyaan :
Hukum mengenal adanya usia dewasa dan belum dewasa. Usia berapakah dapat disebut dewasa?
Istilah "kedewasaan" menunjuk kepada keadaan sesudah dewasa, yang memenuhi syarat hukum. Sedangkan istilah "Pendewasaan" menunjuk kepada keadaan belum dewasa yang oleh hukum dinyatakan sebagai dewasa.Hukum membeda-bedakan hal ini karena hukum menganggap dalam lintas masyarakat menghendaki kematangan berfikir dan keseimbangan psikis yang pada orang belum dewasa masih dalam taraf permulaan sedangkan sisi lain dari pada anggapan itu ialah bahwa seorang yang belum dewasa dalam perkembangan fisik dan psikisnya memerlukan bimbingan khusus. Karena ketidakmampuannya maka seorang yang belum dewasa harus diwakili oleh orang yang telah dewasa sedangkan perkembangan orang kearah kedewasaan ia harus dibimbing.

Menurut konsep Hukum Perdata
Pendewasaan ini ada 2 macam, yaitu pendewasaan penuh dan pendewasaan untuk beberapa perbuatan hukum tertentu (terbatas). Keduanya harus memenuhi syarat yang ditetapkan undang-undang. Untuk pendewasaan penuh syaratnya telah berumur 20 tahun penuh. Sedangkan untuk pendewasaan terbatas syaratnya ialah sudah berumur 18 tahun penuh (pasal 421 dan 426 KUHPerdata).
Untuk pendewasaan penuh, prosedurnya ialah yang bersangkutan mengajukan permohonan kepada Presiden RI dilampiri dengan akta kelahiran atau surat bukti lainnya. Presiden setelah mendengar pertimbangan Mahkamah Agung, memberikan keputusannya. Akibat hukum adanya pernyataan pendewasaan penuh ialah status hukum yang bersangkutan sama dengan status hukum orang dewasa. Tetapi bila ingin melangsungkan perkawinan ijin orang tua tetap diperlukan.
Untuk pendewasaan terbatas, prosedurnya ialah yang bersangkutan mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang berwenang dilampiri akta kelahiran atau surat bukti lainnya. Pengadilan setelah mendengar keterangan orang tua atau wali yang bersangkutan, memberikan ketetapan pernyataan dewasa dalam perbuatan-perbuatan hukum tertentu saja sesuai dengan yang dimohonkan, misalnya perbuatan mengurus dan menjalankan perusahaan, membuat surat wasiat. Akibat hukum pernyataan dewasa terbatas ialah status hukum yang bersangkutan sama dengan status hukum orang dewasa untuk perbuatan-perbuatan hukum tertentu.
Dalam hukum Perdata, belum dewasa adalah belum berumur umur 21 tahun dan belum pernah kawin. Apabila mereka yang kawin belum berumur 21 tahun itu bercerai, mereka tidak kembali lagi dalam keadaan belum dewasa. Perkawinan membawa serta bahwa yang kawin itu menjadi dewasa dan kedewasaan itu berlangsung seterusnya walaupun perkawinan putus sebelum yang kawin itu mencapai umur 21 tahun (pasal 330 KUHPerdata).
Hukum perdata memberikan pengecualian-pengecualian tentang usia belum dewasa yaitu, sejak berumur 18 tahun seorang yang belum dewasa, melalui pernyataan dewasa, dapat diberikan wewenang tertentu yang hanya melekat pada orang dewasa. Seorang yang belum dewasa dan telah berumur 18 tahun kini atas permohonan, dapat dinyatakan dewasa harus tidak bertentangan dengan kehendak orang tua.
Dari uraian tersebut kita lihat bahwa seorang yang telah dewasa dianggap mampu berbuat karena memiliki daya yuridis atas kehendaknya sehingga dapat pula menentukan keadaan hukum bagi dirinya sendiri. Undang-undang menyatakan bahwa orang yang telah dewasa telah dapat memperhitungkan luasnya akibat daripada pernyataan kehendaknya dalam suatu perbuatan hukum, misalnya membuat perjanjian, membuat surat wasiat.
Bila hakim berpendapat bila seseorang dinyatakan dewasa maka ia harus menentukan secara tegas wewenang apa saja yang diberikan itu. Setelah memperoleh pernyataan itu, seorang yang belum dewasa, sehubungan dengan wewenang yang diberikan, dapat bertindak sebagai pihak dalam acara perdata dengan domisilinya. Bila ia menyalahgunakan wewenang yang diberikan maka atas permintaan orang tua atau wali, pernyataan dewasa itu dicabut oleh hakim.
Menurut konsep Hukum Pidana
Hukum pidana juga mengenal usia belum dewasa dan dewasa. Yang disebut umur dewasa apabila telah berumur 21 tahun atau belum berumur 21 tahun, akan tetapi sudah atau sudah pernah menikah. Hukum pidana anak dan acaranya berlaku hanya untuk mereka yang belum berumur 18 tahun, yang menurut hukum perdata belum dewasa. Yang berumur 17 tahun dan telah kawin tidak lagi termasuk hukum pidana anak, sedangkan belum cukup umur menurut pasal 294 dan 295 KUHP adalah ia yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum kawin sebelumnya. Bila sebelum umur 21 tahun perkawinannya diputus, ia tidak kembali menjadi "belum cukup umur".
Menurut konsep Hukum Adat
Hukum adat tidak mengenal batas umur belum dewasa dan dewasa. Dalam hukum adat tidak dikenal fiksi seperti dalam hukum perdata. Hukum adat mengenal secara isidental saja apakah seseorang itu, berhubung umur dan perkembangan jiwanya patut dianggap cakap atau tidak cakap, mampu atau tidak mampu melakukan perbuatan hukum tertentu dalam hubungan hukum tertentu pula. Artinya apakah ia dapat memperhitungkan dan memelihara kepentingannya sendiri dalam perbuatan hukum yang dihadapinya itu.Belum cakap artinya, belum mampu memperhitungkan dan memelihara kepentingannya sendiri. cakap artinya, mampu memperhitungkan dan memelihara kepentingannya sendiri.
Apabila kedewasaan itu dihubungkan dengan perbuatan kawin, hukum adat mengakui kenyataan bahwa apabila seorang pria dan seorang wanita itu kawin dan dapat anak, mereka dinyatakan dewasa, walaupun umur mereka itu baru 15 tahun. sebaliknya apabila mereka dikawinkan tidak dapat menghasilkan anak karena belum mampu berseksual, mereka dikatakan belum dewasa.
Menurut konsep Undang-undang R.I sekarang
Berdasarkan Undang-undang R.I yang berlaku hingga sekarang, pengertian belum dewasa dan dewasa belum ada pengertiannya. Yang ada baru UU perkawinan No. 1 tahun 1974, yang mengatur tentang:
  1. Izin orang tua bagi orang yang akan melangsungkan perkawinan apabila belum mencapai umur 21 tahun (pasal 6 ayat 2);
  2. Umur minimal untuk diizinkan melangsungkan perkawinan, yaitu pria 19 tahun dan wanita 16 tahun (pasal 7 ayat 2);
  3. Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah kawin, berada didalam kekuasaan orang tua (pasal 47 ayat 1);
  4. Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah kawin, yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tuanya, berada dibawah kekuasaan wali (pasal 50 ayat 1).
Tetapi tidak ada ketentuan yang mengatur tentang "yang disebut belum dewasa dan dewasa" dalam UU ini.


MEMPERSIAPKAN KETURUNAN SEHAT SEBELUM MENIKAH

Posted On 00.44 by PIK-REMAJA TUNAS BANGSA 0 komentar


SAAT mempersiapkan pernikahan, sebaiknya jangan lewatkan tes kesehatan pra nikah. Selain memperdalam keyakinan Anda terhadap pasangan, tes kesehatan pra nikah juga memungkinkan Anda mendapatkan keturunan yang sehat.

Pemeriksaan pra nikah merupakan salah satu tahap dalam persiapan yang tidak boleh dilewati. Banyak konflik dalam pernikahan yang mungkin berujung pada perceraian diakibatkan oleh masalah kesehatan, kesuburan dan keturunan.

Tapi dengan saling mengenal kondisi kesehatan Anda dan pasangan, masalah itu telah Anda antisipasi dan cegah sejak awal.

"Setiap pasangan yang akan menikah butuh keterbukaan tentang kesehatan," jelas dr Frizar Irmansyah, SpOG, dokter spesialis ginekologi dari RS Pusat Pertamina, dalam acara Seminar Kesehatan 100% Siap Nikah di Prodia Tower, Jakarta.

Tes kesehatan sebelum pernikahan bisa mendeteksi kemungkinan berbagai penyakit menular, menahun, genetik yang diturunkan seperti:

1. Diabetes Mellitus
2. Kelainan jantung bawaan
3. Hipertensi
4. Hepatitis B
5. HIV/AIDS
6. TORCH (Toksoplasma, Rubella, Cytomegalovirus, dan Herpes simplex virus tipe 2).
7. Penyakit menular seksual (PMS) seperti sifilis, herpes, gonorrhea (kencing nanah).
8. Ketidakcocokkan golongan darah ABO dan rhesus

"Penyakit-penyakit tersebut tentunya sangat mempengaruhi kesehatan pasangan dan keturunannya kelak. Jadi pemeriksaan pra nikah ini penting untuk bisa mendapatkan keturunan yang sehat," jelas dr Frizar lebih lanjut.

Berikut akibat-akibat penyakit yang bisa menurun:

1. Penyakit seperti diabetes melitus, kelainan jantung dan hipertensi, kelainan darah cenderung diturunkan. Calon ibu yang mempunyai kadar gula tinggi, bila tidak dikontrol dapat berisiko cacat pada janinnya atau mengalami komplikasi kehamilan seperti janin besar, gangguan pertumbuhan pada janin, proses kelahiran yang sulit atau janin meninggal di dalam kandungan.

Tapi bila kondisi ini diketahui sejak awal, dapat dilakukan perubahan gaya hidup dan bila perlu dilakukan pengobatan agar kadar gula darah terkendali dan komplikasi dapat dicegah atau dihindari.

2. Penyakit infeksi seperti hepatitis B juga bisa ditularkan ibu kepada janinnya atau dari sang suami kepada istrinya. Sebagian besar PMS termasuk sifilis, herpes, gonorrhea juga bisa mengakibatkan terjadinya kecacatan pada janin.

3. Ketidakcocokkan rhesus juga sangat mempengaruhi janin, seperti janin mengalami anemia, jaundice (kuning) dan komplikasi lainnya. Ketidakcocokkan rhesus ini sering terjadi pada pasangan berbeda ras.

"Dengan tes kesehatan, pasangan bisa mengetahui penyakit-penyakit tersebut lebih awal, sehingga nantinya bisaa dilakukan usaha pengobatan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan," jelas dr Frizar.

Kapan melakukan tes kesehatan pra nikah?

6 bulan sebelum pernikahan dilangsungkan adalah waktu ideal untuk melakukan pemeriksaan, dengan pertimbangan masih cukup waktu untuk menangani masalah kesehatan yang mungkin ditemukan. Namun, jika tidak memungkinkan, kapan pun sebelum pernikahan dilangsungkan, Anda bisa melakukan pemeriksaan.(dfr)


Pengetahuan Mendalam Cegah Perceraian

Posted On 00.43 by PIK-REMAJA TUNAS BANGSA 0 komentar


 
Banyak pasangan tentu mendambakan kelanggengan hubungan mereka. Namun sering yang terjadi tidak seperti yang diharapkan.

Menyimak buku kenangan remaja-remaja SMP (mungkin juga SLTA) yang lulus sekolah, yang berisi biodata, cita-cita, dan kata-kata kenangan, dapat membuat kita tersenyum.

Pasalnya, di antara cita-cita yang tertulis mungkin saja berisi keinginan menjadi pasangan artis ternama (biasanya ditulis remaja perempuan).

Lepas dari kelucuan yang disengaja, bagi banyak orang, menemukan pasangan yang didambakan dan hidup dalam perkawinan merupakan sesuatu yang sangat berarti. Melalui perkawinan, hampir setiap orang berharap akan memperoleh kebahagiaan.

Namun, antara cita-cita dan kenyataan bisa berbeda. Perkawinan yang menjadi dambaan, setelah berlangsung sekian waktu, ternyata justru menjadi neraka.

Kita dapat menemukan banyak pasangan benar-benar bahagia dalam perkawinan yang panjang (abadi), tapi tak jarang menemukan perkawinan bubar di tengah jalan.

Perceraian, meskipun frekuensinya cukup tinggi, khususnya di kalangan selebriti, bagaimanapun merupakan pengalaman yang sangat menyedihkan bagi yang mengalaminya. Baron & Byrne (1994) dalam bukunya, Social Psychology, memaparkan temuan para peneliti mengenai akibat perceraian.

Fischman menemukan adanya penderitaan emosional yang dialami baik laki-laki maupun perempuan yang perkawinannya gagal. Mereka mengalami kesepian, depresi, dan perasaan marah yang relatif menetap.

Beberapa peneliti lain menemukan akibat yang lebih menyedihkan pada anak-anak dari pasangan yang gagal perkawinannya: mereka merespon dengan perasaan yang sangat negatif, memiliki self-esteem rendah (merasa tidak berharga), cemas, merasa tak berdaya, dan mengalami masalah dalam relasi sosial serta akademik.

Di sisi lain, dalam survei-survei mengenai kebahagiaan dalam beberapa dekade, hasilnya secara konsisten menunjukkan bahwa baik laki-laki maupun perempuan menikah lebih bahagia daripada yang tidak pernah menikah ataupun bercerai.

Gambaran semacam ini dapat menjadi cermin, betapa kita memerlukan informasi bagaimana mengelola hubungan dalam perkawinan agar sebuah perkawinan yang telah dirajut dapat berlangsung abadi.

oleh Dra. M.M. Nilam Widyarini, M.Si, dosen psikologi di Universitas Guna Dharma, Jakarta


Alkohol mengakibatkan Kematian

Posted On 00.12 by PIK-REMAJA TUNAS BANGSA 0 komentar

Minuman alkohol dalam batas rendah sering digunakan untuk kesehatan. Tapi yang terjadi orang-orang yang minum alkohol jadi tidak terkontrol dengan terus menenggak hingga batas yang berlebih. Ujung-ujungnya maut yang menjemputnya.

Korban tewas karena minuman alkohol dan campurannya (oplosan) terus berjatuhan. Saking susah terkontrol saat minum alkohol, orang jadi lupa pada ancaman kematian yang mengintainya.


Dikutip dari Medschl.cam.ac.uk, minuman alkohol mengandung atom karbon atau ethanol. Kadar 10 mL ethanol cukup untuk menyebabkan kebutaan dan kadar 30 mLethanol akan menyebabkan dampak lebih fatal termasuk kematian.

Dilansir dari health24, Minggu (19/9/2010) kelebihan alkohol dapat mengakibatkan keracunan alkohol. Ketika tubuh mengalami keracunan alkohol yang terjadi adalah alkohol menekan saraf-saraf yang mengendalikan tubuh seperti saraf jantung, paru dan otak dan menghentikan fungsinya.

Orang yang minum alkohol kebanyakan biasanya akan muntah karena perut menolaknya karena dapat mengiritasi perut. Proses muntah ini bisa langsung menyebabkan kematian, karena si pelaku bisa tersedak oleh muntahannya sendiri yang menyebabkan susah bernapas kemudian jadi tidak sadarkan diri.

Selain pingsan karena tersedak muntahan, yang membuat orang tak sadarkan diri adalah karena alkohol yang sudah diminum akan membuat konsentrasi di darah bertambah (blood alcohol concentration/BAC). Konsentrasi yang terus meningkat ini akan membuat orang pingsan.

Meskipun acara minum sudah selesai, alkohol dalam perut dan usus yang sudah diminum akan terus memasuki aliran darah di seluruh tubuh. Jadi walaupun si peminum sudah tidur dan menganggapnya tidak ada masalah, alkohol yang masuk aliran darah terus berlanjut.

Tanda-tanda orang yang keracunan alkohol dapat diketahui dari:


  1. Kebingungan mental, pingsan, tidak dapat dibangunkan hingga koma
  2. Muntah-muntah karena perut menolaknya
  3. Korban tersedak muntah sendiri
  4. Kejang-kejang
  5. Bernapas lambat (kurang dari 8 tarikan napas per menit)
  6. Jantung berdetak tidak teratur atau berhenti
  7. Suhu tubuh rendah (hipotermia), kulit pucat
  8. Gula darah rendah (hipoglikemia) yang menyebabkan kejang

Jika tidak ditangani secara cepat dengan membawa ke rumah sakit, korban keracunan alkohol akan mengalami dehidrasi parah karena terus menerus muntah dan kejang-kejang. Ancaman kerusakan otak permanen atau kebutaan jika korban masih bisa diselamatkan atau malah mengalami kematian jika gagal diselamatkan.

Banyak cara yang dilakukan peminum agar tak keracunan alkohol seperti minum kopi pahit, mandi air dingin atau langsung tidur. Tapi kebanyakan itu hanya mitos, karena jika konsentrasi darah karena alkohol meningkat upaya itu akan sia-sia.

Satu-satunya cara adalah membalikkan efek alkohol yang biasanya hanya bisa dilakukan oleh paramedis tapi itu pun sulit jika korban terlambat datang.

Jika melihat korban keracunan alkohol sebaiknya memang segera dibawa ke rumah sakit. Usahakan untuk menjaga korban tetap duduk agar tidak tersedak dan bisa bernapas. Orang yang keracunan alkohol biasanya akan menerima terapi oksigen, pemberian cairan infus agar tidak dehidrasi dan pemberian bantuan pernapasan untuk mengurangi tersedak saat bernapas.


Posted On 00.11 by PIK-REMAJA TUNAS BANGSA 0 komentar

10 Hal yang Perlu Diketahui Remaja Tentang Ganja

Setelah membaca Artikel ini, Mohon berikan KOMENTARnya agar Blog ini lebih bermakna
Artikel ini sengaja kami persembahkan kepada kawan-kawan yang merasa JAGOAN dan bangga bahwa dirinya seorang Pengisap Ganja sejati, banyak alasan kawan-kawan yang menghisap ganja ada yang bilang untuk kerja lah, agar dibilang gaul sama teman yang lainnya, dan ada juga yang bilang hanya menemani teman saja... 
 
wahhh ribet dech alasan-alasan kawan kami ini.. smoga saja artikel ini dapt dijadikan bahan renungan buat teman-teman sekalian bahwa TAK ADA SEORANGPUN yang bisa dibilang JAGOAN kalo udah ketangkap Polisi karena GANJA....

Ini dia 10 Hal yang perlu diketahui oleh Remaja/Pemuda tentang Ganja :
  1. - Memakai ganja adalah perbuatan melanggar hukum. Kamu akan sulit mendapatkan pekerjaan jika pernah dihukum. 
  2. - Ganja bebahaya. Menghisap ganja meningkatkan resiko kanker dan kerusakan paru-paru. Juga menyebabkan panik, cemas, dan ”parno” (perasaan yang seperti dikejar orang).
  3. - Ganja mengurangi kemampuan melakukan aktivitas. Yang membutuhkan koordinasi dan konsentrasi, seperti olah gara, menari, latihan drama, dan belajar.
  4. - Memakai ganja mengurangi penilaian orang lain terhadap dirimu. Coba pikir jika kamu berpakaian rapi lalu ada ganja di tanganmu, apa yang kamu lakukan?
  5. - Ganja membatasi dirimu. Ganja mengganggu sekolahmu, hubunganmu dengan keluarga dan kehidupan sosial.
  6. - Ganja mengganggu cara berfikir dan menilai sesuatu. Hal ini sangat mengundang resiko, seperti kecelakaan, dan kekerasan.
  7. - Menghisap ganja tidak menjadikanmu keren (cool). Justru sebaliknya, penampilanmu lusuh.
  8. - Ganja menyebabkan ketergantungan. Kamu merasa selalu membutuhkan ganja, dan sulit melepaskan diri darinya.
  9. - Menghisap ganja bukan menyelesaikan masalah. Ganja tidak akan menyelesaikan masalah, bahkan masalah akan lebih berat, karena kamu tidak berusaha mencari penyelesaiannya. Bicarakan masalahmu dengan orang lain yang kamu percayai. Jangan percaya kepada orang yang berkata, bahwa ganja tidak berbahaya atau akan menjadikan hidupmu lebih baik.
  10. - Tidak semua orang memakai ganja. Kamu tidak membutuhkannya. Jika kamu pikir, semua orang memakai ganja, kamu keliru di Amerika Serikat lebih dari 80% remaja 12-17 tahun belum pernah memakai ganja. 
Ganja tidak menjadikanmu bahagia, popular atau dewasa.

Sumber : BNN-RI


VIDEO

ENTER-TAB1-CONTENT-HERE

RECENT POSTS

ENTER-TAB2-CONTENT-HERE

POPULAR POSTS

ENTER-TAB3-CONTENT-HERE
 

PIK-REMAJA TUNAS BANGSA Copyright © 2010 LKart Theme is Designed by Lasantha